Posted in

Hun Sen’s Shadow in the Cambodia-Thailand War

## Konflik Thailand-Kamboja: Kekuatan Hun Sen, Kelemahan Dinasti Shinawatra, dan Penguatan Militer Thailand

**Oleh Iwan Santosa**

**31 Juli 2025 | 18:00 WIB**

Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang terjadi beberapa pekan terakhir telah memunculkan dinamika politik yang menarik di kawasan Asia Tenggara. Kejadian ini tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral kedua negara, namun juga secara signifikan memperkuat posisi beberapa aktor kunci, sementara yang lain justru mengalami pelemahan. Secara garis besar, konflik ini terlihat mengukuhkan pengaruh Hun Sen di Kamboja, melemahkan Dinasti Shinawatra di Thailand, dan sekaligus memperkuat posisi militer Thailand.

Meskipun telah mundur dari jabatan Perdana Menteri, Samdech (Yang Mulia) Hun Sen tetap menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di Kamboja. Hal ini terlihat jelas selama krisis perbatasan baru-baru ini. Sebagai Ketua Parlemen dan pemimpin Partai Rakyat Kamboja (CPP), Hun Sen muncul sebagai figur dominan yang konsisten hadir di medan perang dan meja perundingan. Berbagai foto yang beredar menunjukkan Hun Sen memimpin rapat di meja panjang, bersama para komandan militer, mengamati peta, dan memegang radio komunikasi. Pengalamannya selama 40 tahun memimpin Kamboja, sebelum akhirnya menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putranya, Hun Manet, tampaknya memberikannya keunggulan strategis dalam menghadapi krisis ini. Seperti yang dilaporkan Reuters pada Kamis (31/7/2025), Hun Sen tetap memegang kendali, memainkan peran krusial dalam konflik Kamboja-Thailand.

Thailand secara terbuka menuduh Hun Sen berada di balik konflik tersebut. “Berdasarkan bukti yang ada, kami percaya bahwa pemerintah Kamboja di bawah kepemimpinan Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen berada di balik serangan pengecut ini,” tegas pemerintah Thailand, merujuk pada gelar kehormatan lengkap Hun Sen. Beberapa jam setelah baku tembak pecah, Hun Sen (72 tahun) aktif membagikan foto dan unggahan di Facebook, bertujuan untuk meraih dukungan domestik dan mengutuk Thailand. Dalam salah satu foto, ia terlihat melakukan video konferensi dengan puluhan orang, termasuk beberapa tentara Kamboja. Foto lainnya memperlihatkan Hun Sen mengenakan seragam militer Kamboja.

“Dalam konflik perbatasan, sangat mengejutkan melihatnya (Hun Sen) sengaja menampilkan diri sebagai pemimpin, mengenakan seragam militer, dan mengarahkan pergerakan pasukan,” ujar seorang diplomat asing di Kamboja. Diplomat tersebut menambahkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, berbagai kebijakan politik domestik Kamboja telah diputuskan oleh Hun Sen. Konflik perbatasan ini semakin memperjelas keterlibatannya. Rasa nasionalisme Kamboja pun kembali menyala, menimbulkan gelombang dukungan besar bagi pemerintah.

“Saya tidak terkejut jika sebenarnya dia (Hun Sen) masih memimpin Kamboja di balik layar. Sekarang situasinya semakin jelas dan diketahui publik,” kata diplomat tersebut. “Jika tujuan Hun Sen adalah membangkitkan sentimen nasionalis Kamboja, dia berhasil.”

Lim Menghour, salah satu pejabat di Kementerian Luar Negeri Kamboja, menjelaskan posisi Hun Sen sebagai komandan pasokan untuk pasukan Kamboja di perbatasan. “Ia terus memantau dan mengikuti perkembangan situasi setiap saat,” kata Lim. Sementara itu, Chhay Sophal, penulis biografi Hun Sen, menyatakan bahwa Hun Sen bertindak sesuai kapasitasnya sebagai Presiden CPP, partai yang memegang 120 dari 125 kursi di parlemen Kamboja. “Tentu saja, Perdana Menteri (Hun Manet) menghormati dan mengikuti kebijakan partai serta kebijakan presiden partai,” kata Sophal.

Perbedaan pendekatan Hun Sen dan Hun Manet cukup mencolok. Meskipun keduanya pernah berkarir militer, pengalaman Hun Sen di medan perang, baik dalam perang saudara maupun konflik dengan negara-negara lain di kawasan, jauh lebih luas dibandingkan putranya. Hun Manet lebih menekankan pendidikan militernya, termasuk pendidikan di West Point, Amerika Serikat.

Selama krisis perbatasan, Hun Manet relatif lebih tenang dan jarang berkomentar. Ia baru angkat bicara setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand pada pertemuan 28 Juli 2025 di Malaysia. Kamis ini, seperti dilaporkan Khmer Times, ia membahas tentang pemulangan tentara Kamboja yang ditawan Thailand. “Kami sedang mengelola informasi mengenai nasib para tentara dan juga melakukan negosiasi untuk pembebasan dan pemulangan mereka,” kata Hun Manet.

Konflik yang dimulai pada 28 Mei 2025, dengan tewasnya seorang tentara Kamboja yang ditembak militer Thailand dekat Candi Preah Vihear, menunjukkan akar permasalahan perbatasan yang sudah berlangsung selama beberapa dekade antara Thailand dan Kamboja. Percakapan telepon antara Perdana Menteri Thailand saat itu, Paetongtarn Shinawatra, dan Hun Sen yang bocor, menimbulkan kritik tajam terhadap Paetongtarn dan semakin memperkeruh hubungan kedua negara. Kebocoran tersebut juga memperkuat sentimen anti-Dinasti Shinawatra di kalangan militer Thailand, mengingat dua Perdana Menteri dari keluarga Shinawatra sebelumnya telah digulingkan oleh militer. Kritikan Hun Sen terhadap Paetongtarn dalam pidatonya Juni 2025 semakin memanaskan situasi.

Sebelum konflik besar pecah, Hun Sen sering muncul dan menunjukkan kendali penuh. “Dialah yang paling sering muncul di pihak pemerintah Kamboja. Hun Sen-lah yang selalu mengomunikasikan kebijakan,” kata seorang diplomat asing di Phnom Penh. Dengan demikian, konflik Thailand-Kamboja tidak hanya menjadi krisis perbatasan, namun juga mencerminkan pertarungan politik dalam negeri kedua negara yang kompleks dan berdampak luas.

**(AP/AFP/REUTERS)**

**Keywords:** Hun Sen, Kamboja, Thailand, konflik perbatasan, Dinasti Shinawatra, militer Thailand, Preah Vihear, gencatan senjata, politik Kamboja, politik Thailand, Asia Tenggara, hubungan internasional, nasionalisme Kamboja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *